Senin, 22 Juni 2009

Temanku, Dulu dan Sekarang

Dulu pernah ada sebuah tempat di mana seorang teman benar – benar seorang teman. Tempat di mana seorang teman bukan hanya status. Tempat di mana seorang teman merupakan saudara ketika saya tidak berada di rumah. Di tempat itu, ketika saya mempunyai masalah maka teman akan membantu dengan sepenuh hati. Membantu hanya karena ia ingin membantu. Membantu karena ia tulus melakukannya. Membantu karena saya adalah saudara baginya.
Sekrang tempat itu hanya kenangan bagi saya. Banyak yang telah berubah. Yah, semakin kami melihat dunia maka semakin takut kami dibuat olehnya. Di sini seorang teman bukan seorang saudara. Seorang teman adalah seorang partner hidup. Maka ketika habis kemanfaatan yang dapat diambil, semua selesai. Di sini teman hanya ingat ketika senang tetapi lupa ketika susah.
Di sini teman terlalu banyak berpikir ketika ingin membantu temannya yang lain. Terlalu banyak pertimbangan untuk membantu. Selalu muncul pertanyaan apa manfaat saya melakukan ini untuk masa depan saya? Atau bermanfaatkah untuk melatih kemampuan saya di dunia kerja?.
Saya mengakui memang itu merupakan hal yang wajar untuk diperhatikan sejak sekarang. Saya akui juga bahwa saya pun masih sering berpikir seperti itu. Namun ada kalanya saya merasa seperti orang yang ditinggalkan. Saya merasa sendiri di tempat baru ini. Terkadang saya merindukan seorang teman yang tulus membantu hanya karena saya teman dan saudara baginya ketika tidak di rumah. Saat saya menulis tulisan ini saya jadi berpikir akan satu buah kalimat ini

”manusia akan semakin menjadi individualis seiring dengan semakin banyak ia mengetahui seperti apa dunia ini”

Kalimat yang tiba – tiba saja muncul dalam benak saya. Kalimat yang menurut saya terjadi pada kebanyakan orang. Kalimat yang juga terjadi pada diri saya. Kalimat yang saya harap tidak lagi terjadi suatu saat nanti. Karena saya lebih suka pada kalimat ini

”If you do one good, then another one will follows”

Saya masih berharap saya masih bisa melakukannya hanya karena ia seorang teman…

Rabu, 17 Juni 2009

Untuk Teman yang Kupanggil SAHABAT

Sebuah Tulisan untuk seorang teman yang aku panggil sahabat…

Setelah membaca apa yang kamu tulis di buku mayamu, aku menyadari bahwa kita memiliki masalah yang hampir sama atau paling tidak aku pernah mengalaminya. Sama seperti apa yang kamu alami, aku juga mengalaminya. Sebuah keraguan dengan apa yang telah kita pilih. Ingin sekali rasanya aku mengulang kembali waktu dan merubah pilihanku waktu itu. Namun, itu merupakan hal yang mustahil akan terjadi pada kita yang hanya seorang manusia biasa yang penuh dengan ketidakberdayaan dan keterbatasan. Lalu apa yang aku lakukan? Apakah aku menyerah dengan kondisiku sekarang dan terus hidup dalam penyesalan masa laluku? Penyesalan karena telah salah memilih? Atau aku lebih memilih untuk menerima apa yang telah aku dapatkan sekarang dan menjalaninya dengan setengah hati? Mungkin ini juga pertanyaan yang muncul dalam pikiranmu sahabatku.

Aku tidak memilih keduanya. Aku tidak menyesali apa yang telah aku pilih di masa lalu dan aku juga tidak menjalani apa yang aku dapatkan dengan setengah hati. Menyesali apa yang telah terjadi tidak akan membuat kita maju, malah akan membuat kita mundur bertahap. Menjalani pilihan dengan setengah hati pun juga tidak baik karena hasil yang akan kita dapatkan tidak akan maksimal. Tidak usah kau ragu dan gamang dengan posisimu. Kalau memang masih mungkin bagimu untuk meraih mimpimu maka kejarlah mimpimu. Kalau memang tidak mungkin, maka jangan kau menyerah pada keadaanmu dan menjalani hidupmu dengan setengah hati.

“Sebuah garis tidak dibentuk oleh satu titik, melainkan oleh banyak titik yang tak terhitung jumlahnya”

“Jangan pikirkan di mana kita menuntut ilmu, tetapi pikirkan ilmu apa yang bisa kita dapatkan dari tempat itu”

Semoga sedikit tulisan ini mampu mengurangi sedikit kegamanganmu. Semangat...!!!
^^

Rabu, 10 Juni 2009

Hati dan Akal

Saya hari ini disaran kan oleh seseorang untuk membaca sebuah blog. anda bisa melihatnya di sini. sebuah blog yang memang sangat bagus. karena membaca itu pula lah saya ingin menulis sedikit di blog saya pada malam hari ini.

apa yang ia tulis benar-benar sebuah cerita yang bagus dan memang layak untuk dibaca siapa pun yang ingin belajar banyak tentang kehidupan. selama membaca tulisannya saya mencatat beberapa hal yang menarik untuk kita pikirkan bersama. sebnuah pernyataan yang saya catat adalah

De, pilihlah apa apa yang akan membuat Ade bahagia, bukan sebaliknya dengan menunggu takdir menentukan, itu bukan Ade, pengen bahagia dunia akhirat kan? mari melawan jiwa Ade sendiri dulu, Ade adalah pemilik jiwa dan pemenang atas segala rasa dan keadaan didalam jiwa Ade sediri, tembus batas kemungkinan, karena bagi ALLAH tak ada yang tak mungkin


fokuskan apa yang saya tebalkan. agar apa yang akan kita pikirkan tidak melenceng kemana-mana. setelah membaca pernyataan itu, saya jadi berpikir benarkah kita yang berkuasa sepenuhnya atas segala rasa dan keadaan dalam jiwa kita? terus terang saya agak tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh saudari kita itu.

kalau memang kita yang memegang kuasa atas segala rasa dan keadaan di dalam jiwa kita, kenapa kita masih tidak dapat mencegah atau paling tidak mengatur atau menyaring rasa dan keadaan hati dan jiwa kita? lalu kemana kekuasaan ALLAH yang maha membolak-balikkan hati? apa mungkin kita mampu melampaui apa yang ALLAH kuasai?

menurut hemat saya, kita sama sekali tidak mempunyai kuasa atas jiwa atau hati atau perasaan kita. karena kita diberikan nafsu oleh ALLAH yang notabene harus kita kendalikan. lalu apa yang kita miliki kuasa atas diri kita walau sangat terbatas? yang kita miliki kuasanya walau sangat terbatas adalah AKAL.

Allah memberikan kita AKAL agar kita mampu mengendalikan nafsu yang Ia berikan. Agar kita mampu memilih perasaan apa yang harus kita kurangi dosisnya dan perasaan apa yang harus kita pelihara dengan ikhlas. coba kita renungkan berapa banyak firmannya yang menyuruh kita agar berpikir akan kebesarannya dengan menggunakan AKAL?

Minggu, 07 Juni 2009

Bercermin pada Berlian

Sebuah batu berlian tidak akan seindah apa yang kita lihat sebelum dipoles oleh orang yang ahli. semakin ahli si pemoles maka semakin indah nan cantik pula berian tersebut. semakin cantik berlian itu maka semakin mahal pula harganya. semakin mahal harganya maka semakin terbatas orang yang mampu membelinya. akankah aku termasuk satu diantara mereka?

Semakin aku mengetahui nilai kualitas dari berlian itu, semakin aku merasa miskin. aku ragu pada diriku sendiri sekaligus malu. Apa yang bisa aku berikan untuk menjadi jaminan kepada si pemoles berlian agar ia mau memindahkan tanggung jawabnya atas berlian itu kepada saya? Bukan hanya seisi dunia yang harus mampu aku berikan, tetapi juga berupa segumpal daging dalam diriku. Mampukah aku??


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Construction. Powered by Blogger